Taman Prasejarah Leang-Leang Maros

Taman Prasejarah Leang-Leang terletak di Dusun Panaikung, Desa Leang-Leang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk menuju ke Taman Prasejarah Leang-Leang tidaklah terlalu sulit. Dari Makassar ke arah timur ± 40 Km melintasi Kota Maros menuju Taman Wisata Alam Bantimurung. Di pertengahan jalan yang mulus antara Kota Maros dan Taman Wisata Alam Bantimurung, terpampang gapura yang lumayan tinggi berlatar belakang warna hitam bertuliskan Taman Prasejarah Leang-Leang.
Dari gapura ini menuju Taman Prasejarah Leang-Leang, kita menyusuri dataran rendah dengan rona kehidupan pedesaan. Di sebelah kiri dan kanan tampak berderet bukit-bukit kapur atau karst dengan lereng terjal yang pada dindingnya banyak terdapat gua yang di depannya terdapat bongkahan batu karang dengan sisa-sisa kikisan air, kulit kerang bertebaran atau melekat pada dinding bukit, cekungan-cekungan dan lain-lain. Keadaan itu sangat nyata menunjukkan bahwa dahulu daratan ini dulunya merupakan lautan.
Di antara gua-gua yang terlihat dalam perjalanan adalah Leang Burung, Leang Bembe, Ulu Leang, Ulu Wae, dan Leang-leang.


Berdasarkan informasi yang terdapat di Rumah Informasi Taman Prasejarah Leang-Leang yang dikeluarkan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Makassar Wilayah Kerja Provinsi Sulawesi Selatan, Tenggara dan Tengah edisi November 2003, penelitian gua-gua prasejarah di Sulawesi Selatan pertama kali dirintis oleh dua naturalis bersaudara berkebangsaan Swiss, Paul Sarasin dan Fritz Sarasin pada tahun 1902-1903. Mereka menemukan alat-alat batu berupa serpih bilah, mata panah bergerigi, dan alat-alat dari tulang, sedangkan lukisan gua belum ditemukan. Hasil penelitian Paul dan Fritz tersebut ternyata menarik perhatian ahli prasejarah, seperti P.V. Stein Callenfeis, W.A. Mijsberg dan Hooijer. Mereka memperkuat pendapat kedua peneliti di atas bahwa penghuni gua-gua prasejarah tersebut adalah komunitas Toala.
Lukisan gua (rock painting) baru ditemukan pada penelitian selanjutnya oleh dua arkeolog berkebangsaan Belanda, Van Heekeren dan Ny. C.H.M. Heeren Palm dalam suatu ekskavakasi yang dilakukan di gua Pettae tanggal 26 Februari 1950. Lukisan yang ditemukan berupa cap telapak tangan serta lukisan binatang yang sedang meloncat dengan tombak tertancap di bagian jantungnya, dan diperkirakan lukisan telah berusia 5.000 tajun. Beberapa arkeolog bahkan berpendapat bahwa beberapa di antara gua tersebut telah dihuni semenjak 8.000 – 3.000 SM. Berdasarkan analisis D.A. Hooijer, seorang ahli zoology, bahwa binatang dalam lukiasan itu ialah babi rusa.
Selanjutnya pada tahun 1977, 1985, dan 1989, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) berhasil menemukan alat-alat batu, alat-alat tulang dan kerang, tembikar, sisa-sisa hewan vertebrata dan invertebrata serta sejumlah lukisan gua dengan motif babi rusa, cap tangan dan kaki, manusia, perahu serta ikan.
Dalam suatu ekskavakasi di Ulu Leang tahun 1973, J.C. Glover dan kawan-kawan, menemukan sisa-sisa makanan berupa kulit kerang, tulang binatang, dan alat-alat batu serta biji padi yang berdasarkan analisis dating dengan menggunakan C₁₄ diidentifikasi berasal dari sekitar 25 ribu tahun yang lalu. Selanjutnya pada tahun 1979, sebuah tim yang dipimpin oleh Hadimuljono menemukan kapak neolith, tengkorak manusia, serta manik-manik yang sangat penting artinya bagi upaya eksplanasi cakrawala kehidupan manusia masa lalu.
Identifikasi Gua
Mengingat akan banyaknya leang (gua,bahasa setempat) maka desa di bawah bukit kapur dinamakan Desa Leang-leang. Kecuali nama Desa Leang-leang juga untuk menyebut gua-gua yang terdapat di desa itu.
Leang-leang ini terdiri atas dua ceruk yang masing-masing disebut Pettae dan Petta Kere. Kedua gua ini dibatasi oleh dinding terjal yang agak berjauhan. Yang satu berada di sebelah utara, ukurannya lebih besar, dan yang lainnya (Pettae) terletak di sisi selatan.
Dibandingkan dengan gua Petta Kere, gua Pettae ukurannya lebih besar. Lebih ceruk sekitar 3,40 m, tinggi 4 m dengan kedalaman 4,50 m. Gua ini menghadap ke arah barat laut dengan ketinggian kurang dari 7 m di atas permukaan laut. Leang Petta Kere terdiri atas dua ceruk, yang satu menjorok ke timur dan lainnya ke selatan. Pada pertemuan kedua sisi ceruk ini terdapat satu ceruk kecil lagi yang mengarah ke timur.
Gua-gua tersebut terbentuk dari sendimen alluvial sebagai hasil larutan senyawa antara unsur karbonat (CaCO₃) dengan resapan air (H₂O) sehingga endapannya membentuk gugusan perbukitan gamping (limestone). Dalam proses pelarutan ini, sering dihasilkan bentuk gua. Gua-gua inilah yang pada masa kemudian, khususnya pada zaman prasejarah, banyak dimanfaatkan sebagai sarana pemukiman awal manusia di Sulawesi Selatan. Bukti-bukti pemanfaatan gua dicirikan dengan ditemukan tinggalan budaya di dalamnya. Puncak bukit bentuknya bulat dan melengkung tumpul, menara karst, stalaktit dan stalakmit serta lembah yang sempit dan berdinding terjal.
Berdasarkan struktur geologi Petta Kere dan Pettae dapat dikelompokkan ke dalam gua tipe kekar lembaran. Gua kekar tiang memperlihatkan lebar ruangan yang sempit dengan atap yang tinggi. Proses travertine yang terjadi pada gua ini sangat aktif, sehingga membentuk stalaknit, stalakmit ataupun sinter. Keaktifan proses travertine ini menyebabkan ruang gua menjadi rumit dan sempit, lantai miring dan curam. Cepatnya proses  travertine ini juga disebabkan oleh tingginya kelembaban dan rendahnya suhu di dalam gua serta kurangnya penguapan oleh sinar matahari. Walaupun ruang gua seringkali mendapat sinar yang cukup, namun tingkat kelembaban seringkali tetap tinggi karena besarnya kandungan air di dalam batuan. Ruang lain dari gua ini juga memperlihatkan lebar ruangan yang cukup luas dengan atap yang pendek dan rongga yang panjang sehingga tidak banyak dijumpai stalaknit, stalakmit dan sinter. Hal ini karena air sebagai mediator utama bergerak mengikuti arah rekahan horisontal , bukan vertikal sebagaiman arah rekahan pada tipe kekar tiang. Travertine pada gua kekar lembaran terbentuk pada dinding gua dengan tingkat ketebalan yang tipis. Proses ini biasanya berjalan sangat lambat dan dalam rentang waktu yang sangat panjang. Pada bagian inilah orang-orang pada zaman prasejarah seringkali meletakkan lukisannya. Pada musim kemarau yang suhunya tinggi, dengan kadar air rendah dan kelembaban rendah, seringkali terjadi proses pengelupasan sehingga mengakibatkan lukisan yang berada di atasnya ikut terkelupas.
Benda Cagar Budaya
Di kompleks Taman Prasejarah Leang-Leang ditemukan benda cagar budaya yang terdiri dari lukisan dinding gua (rock art painting), alat teknologi batu (microlith), dan sisa-sisa makanan. Pada ruang bagian utara Leang Petta Kere terdapat sebuah lukisan berupa babi rusa (elaphurus devidianus) yang sedang meloncat. Di depan lukisan tersebut terdapat sejumlah lukisan cap tangan (handstencils). Di ceruk ini terdapat pula lukisan cap tangan kiri berjumlah 5 buah, dengan lebar 12 cm dan panjang 9 cm. Satu di antara jari-jari itu terdapat jari-jari terpotong berwarna merah, yang mengandung makna sebagai kekuatan pelindung dan pencegah roh-roh jahat. Adapun handstencils yang jari-jarinya tidak lengkap mungkin sebagai tanda berkabung. Menurut Roder dan Galis yang pernah menyelidiki lukisan-lukisan gua prasejarah di Papua berpendapat, lukisan berwarna merah tersebut bertalian dengan upacara penghormatan terhadap nenek moyang, upacara kesuburan, inisiasi dan mungkin juga untuk keperluan ilmu dukun guna meminta hujan atau memperingati suatu kejadian yang penting.
Di Leang Pettae ditemukan beberapa cangkang moluska dari jenis pelycipoda dan gasytropoda, tulang-tulang hewan dan ikan sehingga kita berkesimpulan bahwa gua ini merupakan tempat operasional untuk mengolah makanan. Sementara di gua Petta Kere tidak satu pun ditemukan cangkang moluska, tulang-tulang ikan maupun hewan sehingga gua ini dianggap sebagai tempat upacara yang bermakna sakral. Di sini masih ada beberapa lukisan yang tidak dapat diidentifikasi karena kondisinya sudah rusak akibat perembesan air dalam dinding gua.
Mengingat pentingnya gua-gua prasejarah Leang-Leang dengan cerita kekunaannya yang melekat, maka Pemerintah berusaha melindunginya dengan menerapkan Undang-Undang Benda Cagar Budaya yang berlaku. Selain itu, di kawasan ini juga dilakukan pemugaran, penamaan serta pembangunan sarana dan prasarana untuk kemudahan para pengunjung, baik pengunjung umum maupun peneliti. Penataan situs ini dimulai pada tahun 1977, disesuaikan dengan fungsinya sebagai Taman Prasejarah Leang-Leang

No comments:

Post a Comment