Tuesday, March 11, 2014

Taman Purbakala Gua Leang-leang Jejak-jejak Tangan Purbakala

Di kabupaten Maros, Sulawesi Selatan ada sejumlah lokasi wisata yang menarik. Taman Prasejarah Leang-Leang adalah objek wisata purbakala yang berada tidak jauh dari Taman Wisata Alam Bantimurung.

Leang dalam bahasa Makassar berarti gua, dengan pengulangan kata berarti gua-gua atau kawasan gua. Sebab di daerah ini terdapat banyak gua peninggalan arkeologis yang sangat unik dan menarik.
Gua leang leang menggambarkan  kehidupan manusia masa lampau, deretan gua-gua yang ada di hamparan pegunungan batu itu sangat menarik perhatian terutama para ilmuwan.
Di sekitar pegunungan karst yang terhampar dari kabupaten Maros hingga ke Manado, dan konon adalah yang terpanjang di dunia ini, memang ada banyak sekali ditemukan gua-gua.
Lokasi Goa leang leang dapat ditempuh dari Bandara Sultan Hasanuddin dengan  menggunakan angkutan umum. Meski wilayahnya sudah tidak termasuk dalam Desa Wisata Samangki, namun dapat disebut sebagai objek wisata daerah sekitar Samangki karena letaknya hanya berjarak sekitar 7.5 kilometer dari Samangki.

Leang-leang terletak di Kelurahan Kalabirang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros. Kurang lebih ada sekitar 60 buah gua yang tersebar di kabupaten Maros saja, dan banyak yang belum diselidiki isinya karena lokasinya terletak di bukit terjal dan tegak lurus.
Pada tahun 1950, Van Heekeren dan Miss Heeren Palm menemukan gambar gua prasejarah (rock painting) yang berwarna merah di Gua Pettae dan Petta Kere. Van Heekeren  menemukan gambar babi rusa yang sedang meloncat yang di bagian dadanya  tertancap mata anak panah, sedangkan Miss Heeren Palm menemukan gambar telapak tangan wanita dengan cat warna merah.
Menurut para ahli arkeologi, gambar atau  lukisan prasejarah tersebut sudah berumur sekitar 5000 tahun silam. Dari hasil  penemuan itu, mereka menduga bahwa gua tersebut telah dihuni sekitar tahun  8000-3000 sebelum Masehi.
Di kawasan Gua Leang Leang , ditemukan dua gua yaitu gua PettaE dan gua Petta Kere. Dua gua itu letaknya tidak berjauhan. Gua pertama tampak sewaktu memasuki kawasan disekitarnya terdapat rumah penduduk sebagai tempat beristirahat.

Gua PettaE , pintu gua dipagari besi setinggi 1500 cm. Dari pintu itu, gambar tangan sudah terlihat karena gua itu memang tidak terlalu dalam. ada lima gambar telapak tangan, tapi hanya  tiga yang utuh. Selain telapak tangan, ada pula babi rusa dan sebuah mata tombak yang semuanya berwarna merah.
Pada gua Petta Kere dapat ditempuh dengan berjalan kaki, kurang lebih 300 meter  dari Gua PettaE. Ada dua jalur yang dapat ditempuh. Jalur pertama menggunakan jalan yang sudah baik, jalur kedua melewati anak tangga di antara batu-batuan menyempit. dengan ketinggian  sekitar 20 meter dari permukaan tanah. disiapkan tangga besi berbelok.
Goa ini menyimpan gambar yang lebih banyak . Ada sekitar 27 gambar telapak tangan, tapi yang terlihat utuh hanya sekitar 17 gambar. Sebuah gambar babi rusa gemuk terkapar dengan sebilah tombak menghunus ke jantung.
Selain gambar-gambar pada dinding gua, di sekitar gua itu juga ditemukan sampah dapur berupa kulit kerang dan keong yang berserakan.
Leang Leang sendiri konon ditemukan oleh dua arkeolog asal negeri kincir angin, Mister Van Heekeren dan Miss Heeren Palm. Pada tahun 1950 mereka menemukan lukisan pada goa Petta Kere dan Pettae.

Untuk melestarikan dan memperkenalkan  gua-gua yang merupakan sumber informasi prasejarah tersebut, maka sejak tahun 1980-an pemerintah setempat mengembangkannya menjadi tempat wisata sejarah  dengan nama Taman Wisata Prasejarah Leang-Leang.
Tentang gambar tangan, ada tradisi purba masyarakat setempat yang menyebutkan, gambar tangan dengan jari lengkap bermakna sebagai penolak bala, sementara tangan dengan empat jari saja berarti ungkapan berdukacita. Gambar itu dibuat dengan cara menempelkan tangan ke dinding gua, lalu disemprotkan dengan cairan berwarna merah.
Zat pewarna ini mungkin  dari mineral merah (hematite) yang banyak terdapat di sekitar gua (di batu-batuan dan di dasar sungai di sekitar gua), ada pula yang mengatakan dengan batu-batuan dari getah pohon yang dikunyah seperti sirih.
Dibandingkan dengan tempat-tempat wisata alam yang ada di Pulau Jawa, Leang-leang termasuk yang paling bebas dari tangan-tanan jahil.  Tidak ditemukan adanya coretan-coretan di dinding goa maupun di batu-batu yang ada.  Hanya saja sebagian besar lukisan telapak tangan memang sudah agak pudar, yang menurut pemandu kami, disebabkan banyaknya orang yang menempelkan tangannya di lukisan tersebut.
- See more at: http://www.btravindonesia.com/jejak-jejak-tangan-purbakala-di-taman-purbakala-gua-leang-leang.html#sthash.HZFitADw.dpuf
Di kabupaten Maros, Sulawesi Selatan ada sejumlah lokasi wisata yang menarik. Dalam perjalanan kali ini, bersama teman-teman, saya hanya sempat mengunjungi dua lokasi saja yaitu: Leang-Leang dan Taman Wisata Alam Air Terjun Bantimurung.  Dan karena Bantimurung sepertinya sudah lebih sering dibahas, lebih baik kita fokus untuk membicarakan tentang Leang-Leang dengan daya tariknya yang unik.
Dalam Bahasa Makassar, Leang-leang berarti liang atau goa, yang dalam hal ini adalah bagian dari  Taman Prasejarah yang layak dikunjungi. Di sekitar pegunungan karst yang terhampar dari kabupaten Maros hingga ke Manado, dan konon adalah yang terpanjang di dunia ini, memang ada banyak sekali ditemukan gua-gua.  Kurang lebih ada sekitar 60 buah gua yang tersebar di kabupaten Maros saja, dan banyak yang belum diselidiki isinya karena lokasinya terletak di bukit terjal dan tegak lurus. Leang Leang sendiri konon ditemukan oleh dua arkeolog asal negeri kincir angin, Mister Van Heekeren dan Miss Heeren Palm. Pada tahun 1950 mereka menemukan lukisan pada goa Petta Kere dan Pettae.
Berada di komplek Taman Prasejarah itu, kami menyusuri jalanan yang terbuat dari semen, sambil tak henti
menikmati uniknya pemandangan di sebelah kiri kanan di mana mencuat batu-batu runcing dengan lubang-lubang horisontalnya, dua buah batu yang tersusun keatas, seolah-olah dikerjakan oleh manusia, padahal semuanya memang sudah begitu sedemikian rupa sejak diketemukannya  lokasi ini.  Tanaman yang ditata rapi di seputar batu-batu tersebut menambah asri pemandangan.  Para ahli sejarah memperkirakan dahulu kala lokasi ini adalah laut yang luas karena terdapat garis-garis air dan erosi di bebatuan di sini, selain itu juga ditemukan adanya fosil kerang yang menempel pada dinding goa Pettae.
Untuk mencapai lokasi goa Petta Kere, kami berjalan melewati sebuah jembatan yang dibawahnya mengalir anak sungai yang airnya jernih.  Sedangkan untuk masuk ke goa tersebut, kami harus mendaki tangga besi yang lumayan tingginya.  Tetapi hal ini tidaklah menjadi masalah karena terobati dengan keunikan lain di dinding goa, yakni cap telapak tangan lengkap dengan jari-jarinya yang beberapa masih dapat terlihat dengan jelas (beberapa sudah buram).  Selain itu ada dua gambar babi dan rusa berwarna kemerahan di dekatnya.
Photobucket

Dari goa Petta Kere, kami menuju ke goa Pettae yang lokasinya berdekatan dan lebih mudah dicapai.  Disini juga terdapat lukisan telapak tangan dan babi, tetapi tidak terlalu jelas.  Lukisan-lukisan purba di kedua goa tersebut diperkirakan mencapai usia 5.000 tahun.
Masuk ke dalam gerbang, terdapat pohon-pohon besar yang disebut pohon colok oleh masyarakat setempat.  Disebelah kanan terdapat rumah panggung panjang yang menghadap ke Timur, disini disimpan benda-benda purbakala hasil galian para arkeolog.  Benda-benda ini berasal dari jaman batu karena ada pisau batu, ujung tombak batu, fosil kerang, dan berbagai peralatan, bahkan ditemukan juga tulang rahang manusia lengkap dengan giginya dan taring babi sepanjang telapak tangan orang dewasa.  Bekerja sama dengan para peneliti dari Australia, beberapa benda-benda dibawa ke negeri Kanguru untuk diteliti.
Perjalanan dari Makasar ke Leang-Leang dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun empat menuju ke kecamatan Bantimurung, kabupaten Maros selama sekitar satu jam perjalanan.  Suasana yang sepi karena bulan puasa membuat kami lebih puas menikmati peninggalan prasejarah ini.  Pohon-pohon besar yang tumbuh dan ditata rapi menambah keasrian tempat ini.
Ada banyak obyek batu-batuan yang seolah-olah menembus bumi menuding langit disela-sela rerumputan yang hijau.  Sebuah komposisi yang menarik untuk diabadikan.  Batu-batuan ini terhampar di berbagai lokasi, tetapi tertata dengan rapi karena adanya jalan yang terbuat dari semen.  Batu-batuan yang tidak terlalu tinggi seperti disatukan dalam satu kelompok, sedangkan batu-batuan yang besar dalam kelompok lain.
Photobucket
Karena medannya cukup luas dan tidak terjal, ini memudahkan bagi teman-teman penggemar fotografi untuk mendapatkan sudut pengambilan sesuai selera, yang tentunya disesuaikan dengan arah sinar matahari.
Untuk pengambilan gambar di goa-goa sebaiknya menggunakan lensa dengan bukaan yang lebar karena sedikit gelap atau menggunakan flash.
Di luar lokasi Taman Purbakala, yakni di sisi pinggir jalan, terdapat leang-leang burung yang dihuni burung walet.  Kami tidak masuk ke lokasi yang terletak di bukit terjal, di mana kami musti melewati sawah kecil.  Di leang burung tidak ditemukan tanda-tanda bahwa goa ini pernah didiami manusia karena setelah digali sedalam 8 meter hanya ditemukan tulang belulang hewan.
Dibandingkan dengan tempat-tempat wisata alam yang ada di Pulau Jawa, Leang-leang termasuk yang paling bebas dari tangan-tanan jahil.  Kami tidak menemukan adanya coretan-coretan di dinding goa maupun di batu-batu yang ada.  Hanya saja sebagian besar lukisan telapak tangan memang sudah agak pudar, yang menurut pemandu kami, disebabkan banyaknya orang yang menempelkan tangannya di lukisan tersebut.  Semoga tempat ini tetap terpelihara dengan baik dan menjadi perhatian bagi semua pihak baik dinas purbakala maupun masyarakat Indonesia.

No comments:

Post a Comment